Einstein
Einstein and Eddington
Einstein dan Eddington. Film ini sangat menarik untuk disimak, menggambarkan persaingan hebat antara dua universitas terkemuka pada awal abad 20, yang satu di Inggris dan satu lagi di Jerman. Dengan memertaruhkan reputasi keduanya, dan sekaligus sisi lain dari pada dua ilmuan hebat. Film yang mengisahkan kompetisi sekaligus persahabatan antara ilmuan pembela Tuhan melalui pembuktian ilmiah, dan ilmuan yang mencari Tuhan lewat penemuan ilmiah. Yang pertama adalah Arthur Stanley Eddington, seorang ilmuan Inggris pengagum Newton. Sedangkan yang kedua adalah Albert Einstein yang juga pengagum Newton. Keduanya tengah mengerjakan penelitian mengenai gravitasi. Dalam film ini kita akan disajikan sosok lain dari Einstein, ilmuan paling berpengaruh di era modern karena teori-teori briliannya yang mampu menggerakkan umat manusia, baik ke arah kehancuran dan juga kegemilangan. Namun Einstein tidak ditampilkan seagung namanya, Einstein adalah ilmuan yang urakan, suka meremehkan wanita, dan rela melakukan apapun bagi penelitiannya. Karena itu ketika Max Planck menawarinya untuk pindah ke Berlin demi prestis, dana penelitian, dan status sosial. Maka Einstein mengorbankan semua faktor ikatan emosional itu, dia tak lain mahluk pragmatis di dunia sains. Bergabung bersama ilmuan Berlin yang tergila-gila dengan proyek militer, menikmati hiburan malam, meniduri perempuan-perempuan semaunya. Mungkin putra Einstein, Hans dan Eduard, tidak terkenal atau setidaknya menjadi ilmuan seperti ayahnya, dikarenakan mereka kehilangan figur ayah. Terlebih kepada istrinya, Mileva, seorang ahli fisika yang harus mengubur cita-cita keilmuannya karena menjadi seorang istri. Dan menjadi seorang istri di manapun berarti menjadi mahluk nomor dua di rumah tangga setelah suami. Omongannya tak pernah didengar, bahkan komitmen indah yang dibuat sebelum pernikahan mereka, seringkali dilanggar Einstein sendiri. Mileva yang terpaksa mengalah seakan membenarkan bahwa suami dan ayah tak lain dari bayi paling egois di dalam rumah tangga. Di kemudian hari, kedua pasangan saintis itu bercerai. Sedangkan Eddington tampil sebagai sosok suci penyembah Tuhan, yang berulang kali mengaitkan teori Newton dengan ayat-ayat biblikal. Setelan baju layaknya bangsawan Inggris –karena dia sendiri bergelar Sir, kehidupan teratur, potongan rambut pendek tidak acak-acakan seperti Einstein. Dia seperti Harun Yahya-nya Kristen. Jadi, bagi para pengagum Einstein dan pemujanya, mungkin harus menyediakan ruang lain dalam pikiran dan hati mereka untuk melihat tokoh kharismatiknya digambarkan berbeda. Tetapi begitulah nasibnya orang-orang yang mempunyai daya kharismatik, bayaran yang diterima bagi orang-orang yang mengonstruk dirinya sendiri agar mempunyai kharisma, maka suatu hari akan ditelanjangi. Tak terkecuali seorang Nabi. Dan bagi Nabinya sains seperti Einstein, dalam film inilah penelanjangan itu berlangsung. Penelanjangan pada aspek psikis memang sangat jitu untuk melucuti orang-orang rasional macam Einstein. Tapi bukan berarti bahwa Einstein tidak menyintai kedua putranya, tiap hari dia selalu mengajak mereka untuk belajar dengan cara yang berbeda. Seperti ketika Einstein berlayar bersama putra bungsunya, dia mengendarai perahu dengan tanpa melihat. Hal itu dilakukan untuk mengajari anaknya, bahwa manusia dapat mengetahui arah mata angin dengan membasahi jari. Dan dengan satu perangkat sepele itu, manusia mampu mengerjakan hal besar semacam mengendarai perahu, walaupun mungkin manusia itu mengalami cacat semisal kebutaan. Dan itulah fisika yang sebenarnya, yang dapat dipraktikkan dalam kehidupan. Sama halnya dengan nuklir yang dapat digunakan sebagai senjata pemusnah massal, atau pembangkit listrik bagi manusia. Demikian pula dengan pengetahuan. Tidak ada pengetahuan yang bebas nilai, gas amonia dapat dikonversi menjadi nitrat, dan nitrat pun bisa untuk menyiksa tubuh manusia. Dan pengetahuan adalah bagian dari strategi kuasa, sehingga dengan sendirinya bersifat subyektif. Itulah yang dikatakan Foucault puluhan tahun setelah era Einstein, tidak ada sesuatu yang obyektif, karena segala sesuatu memiliki ruang cipta ketika sebuah pengetahuan disusun. Bahkan pengetahuan sendiri muncul sebagai sesuatu yang subyektif dalam fungsinya mencampakkan gejala unreason, dan irasional. Kuasa beroperasi dengan cara normalisasi dan regulasi, yakni bagaimana kuasa dipraktikkan, diterima, dilihat sebagai kebenaran, dan berfungsi dalam bidang-bidang tertentu. Klaim atas kebenaran (truth claim) tidak paralel dengan kebenaran klaim (rightness claim). Justru seringkali apa-apa yang benar ditentukan oleh siapa-siapa yang berkuasa. Karena kebenaran diproduksi oleh setiap kekuasaan, dan setiap kekuasaan disusun dan dimapankan oleh pengetahuan dan wacana tertentu. Kekuasaan menghasilkan pengetahuan, demikian pula pengetahuan menyediakan kekuasaan. Kekuasaan dan pengetahuan secara langsung saling mempengaruhi, tidak ada hubungan kekuasaan tanpa ada konstitusi korelatif dari bidang pengetahuannya. Kejam? Tidak! Permasalahan kejam atau tidak hanya soal waktu, ruang, dan aktor. Tapi itulah keseimbangan, tidak ada yang baik dan buruk, yang ada hanya kompetisi yang selalu tarik menarik seperti halnya gravitasi. Lalu di mana letak kedamaian jika cuma ada dalam mimpi? karena di dunia ini kedamaian sendiri bersahabat dengan kehancuran. Bahkan terkadang kedamaian muncul setelah perang berkepanjangan yang menewaskan jutaan manusia dan melantakkan segalanya. Tapi apakah kedamaian itu mutlak dan tetap? Tidak, baik kehancuran dan kedamaian terus bergerak, terus terjadi dalam kehidupan manusia. Lalu kenapa manusia gelisah dengan pergerakan, perubahan, atau sebagian orang bilang sebagai siklus kehidupan? Apakah perasaan manusia hanya menginginkan kedamaian atau cuma mencirikan hedonisme kedamaian dalam istilah Will Kymlicka? Dalam pandangan Eddington, Albert Einstein adalah orang yang tidak menghargai karya orang lain. Einstein menciptakan istilah matematika-nya sendiri yang berbeda dengan yang sudah ada. Walaupun istilah itu tidak menggunakan referensi manapun. Seperti misalnya definisi dari Time, atau biasa kita artikan dalam bahasa kita adalah waktu. Time, menurut Einstein, is at different speeds in the universe, depending on how fast you’re moving. The faster you move, the more time slows down… time isn’t shared. It’s not an absolute. Kemudian gravitasi, gravity is nothing. “Newton says that gravity is instantaneous, but Einstein says that the speed of light.” Pada tahap ini Eddington masih menganggap adanya kesamaan gagasan antara dirinya dan Einstein. Ada sesuatu hal beyond the gravity, dia menjadi penasaran meskipun para ilmuan Inggris lain yang mendewakan Newton menertawakan buku hasil penelitian awal Einstein, tapi tidak bagi Eddington.
Untuk lebih jelasnya, silahkan tonton film "Einstein and Eddington"
Download film "Einstein and Eddington" via
userscloud disini
solidfiles disini
tusfiles disini
Post a Comment
0 Comments