e-Book
Kebenaran yang Hilang (Farag Fouda)
Apakah mereka yang punya pikiran-pikiran seperti Faraq Fouda juga harus dihalalkan darahnya? Dengan demikian harus ditembak mati seperti Jamaah Islamiyah menembak mati Fouda? Fouda yang lahir pada tahun 1945 adalah seorang pemikir, penggiat hak-hak asasi manusia dan komentator terkemuka di Mesir perihal pembacaan baru sejarah Islam. Dia juga pernah aktif dibeberapa partai seperti Wafd dan Istiqlal. Tetapi karena tulisan-tulisannya, dia akhirnya dibunuh.
Ana Belen Soage menulis dalam Middle East Review of International Affairs, bahwa beberapa hari sebelum dibunuh, tanggal 3 Juni, sekelompok ulama dari Universitas al-Azhar mengeluarkan pernyataan bahwa Fouda, berdasarkan pikiran dan tulisannya, telah menghujat agama dan karenanya keluar dari Islam. Ini berarti, ia adalah musuh Islam dan halal darahnya. Di sini, labelisasi halal berarti boleh dibunuh. Sebelumnya, kelompok ulama yang sama menerbitkan daftar nama-nama orang yang memusuhi Islam dan Fouda berada di urutan pertama. Para pembunuhnya bertolak dari dua dokumen ini.
Apa yang dianggap penghujatan terhadap agama islam sebenarnya terkait dengan tulisan-tulisan Fouda yang terangkum dalam buku ‘Kebenaran yang Hilang ; Sisi Kelam Praktik Politik dan Kekuasaan dalam Sejarah kaum Muslim. Buku ini adalah edisi revisi yang pernah diterbitkan Balai Litbang Agama Jakarta pada tahun 2007. Buku ini mengkritik pandangan dan tafsir oleh beberapa kaum islamis tentang sejarah Islam pada masa sahabat yang dianggap paling gemilang yang pernah dicapai umat islam, sehingga dengan demikian menjadi tolak ukur pendirian negara atau pemerintahan yang islami.
Pandangan beberapa kalangan yang menganggap pentingnya negara Islam atau Islam adalah solusi adalah sebuah pandangan yang sangat akrab dengan slogan Ikhwanul Muslimin. Mereka menganggap Islam sebagai agama dan negara. Penerapan syariat islam secara serta merta akan memperbaikan keadaan dan segala persoalan yang ada. Tetapi bagi Fouda, ada banyak persoalan yang belum bisa dijawab. Misalnya, adanya kontroversi meluas yang muncul karena adanya respon dari gerakan emansipasi perempuan dan dilain pihak, muncul pula gerakan pendukung hak asasi laki-laki. Keduanya adalah kenyataan-kenyataan sosial baru dalam masyarakat yang tidak ada preseden sebelumnya, baik dalam masa Imam Malik, Abu Hanifah, al-Syafii maupun Ibnu Hanbal (hal.12)
Tidak adanya ketentuan yang jelas dalam sistem pemerintahan pada masa Khulafa’ al Rasyidun makin meruntuhkan argumen para penganut islamis yang hendak menegakkan khilafa atau negara Islam. Ketidakjelasan ini secara jelas muncul pada masing-masing awal periode kepemimpinan sahabat. Tidak adanya hadis nabi yang digunakan pada saat perkumpulan di Tsaqifah Bani Saidah di kota Madinah. Sebuah polemik antara Saad bin Ubadah yang hendak diangkat kaum Anshar menggantikan nabi dengan Abu Bakar yang dicalonkan oleh Umar dan Abu Ubaidah Al-Jarrah. Setelah melalui polemik panjang, akhirnya Abu Bakar terpilih menggantikan nabi. Di sini tidak ada penggunaan hadist nabi (kalaupun benar ada) dalam pencalonan.
Oleh sebab itu, dalam tata cara pemilihan, Al Qur’an sendiri tidak meninggalkan ketentuan spesifik tentang perkara ini. Nabi pun tidak mewasiatkan apa-apa kepada kita. Jika tidak demikian, tidak mungkin akan terjadi perdebatan sengit dan pertentangan keras di dalam pertemuan Tsaqifah. Kalau ada ketentuan, pasti Ali bin Abi Thalib tidak akan menolak mengakui Abu Bakar dan segera membaiatnya (hal.77).
Dan yang lebih menarik menurut Fouda adalah Abu Bakar tidak menganggap tata cara di Tsaqifah sebagai tata cara yang paling benar dalam suksesi kepemimpinan Islam, karena itu ia juga mewasiatkan penggantinya kepada Umar dengan surat tertutup yang lebih dikenal dengan Majlis Ahl al-Halli Wa al-‘Aqdi.
Dengan dasar itulah umat Islam membaiat Umar menjelang wafatnya Abu Bakar, tanpa tahu apa isi surat Abu Bakar itu. Tata cara ini juga diralat Umar dikemudian hari, dengan menunjuk satu di antara enam orang pemuka sahabat, yaitu Ali, Utsman, Thalhah, al-Zubair, Ibnu Auf, dan Saad bin Abi Waqash. Cara seperti ini juga berbeda dengan tata cara Muawiyyah yang melakukan pendekatan senjata, serta Yazid yang mewariskan kekuasaannya. (hal. 18).
Sehingga bagi Fouda, yang juga dikutip oleh Samsu Rizal Panggabean dalam pengantar buku ini, zaman para sahabat Nabi dan Khulafa’ al Rasyidun, sebagai zaman keemasan yang dirindukan, Fouda menganggap bahwa itu adalah zaman biasa. Tidak banyak yang gemilang dari masa itu. Malah, masih dalam pengantar buku ini, ada banyak jejak memalukan. Tiga dari empat al-Khulafa’ yang katanya al-Rasyidun wafat karena pembunuhan politik yang terjadi di tengah polarisasi atau perang saudara di kalangan pengikut-pengikut Nabi yang, menurut riwayat, telah dijamin akan masuk surga.
Epilog kedua oleh Goenawan Mohammad menambahkan bahwa mereka tak sekedar membunuh Usman. Menurut sejarawan al-Thabari, jenazahnya terpaksa ‘’bertahan dua malam karena tidak dapat dikuburkan”. Ketika mayat itu disemayamkan, tak ada orang yang bersembahyang untuknya. Siapa saja dilarang menyalatinya. Jasad orangtua berumur 83 itu bahkn diludahi dan salah satu persendiannya dipatahkan. Karena tak dapat dikuburkan di pemakaman Islam, khalifah ke-3 itu dimakamkan di Hisy Kaukab, wilayah pekuburan Yahudi. (hal.197)
Demikian juga pada masa kepemimpinan Ali. Khalifah ke-4 itu harus mati ditangan pengikutnya sendiri yang kecewa terhadapnya ; Ibnu Muljam. Dan dia tertangkap dan dihukum mati. Matanya dicungkil dan lidahnya dipotong serta mayatnya dibakar. Ada sebuah kengerian yang terlampau sadis yang membayangi periode kepemimpinan para sahabat nabi. Periode yag sebagian umat islam dikatakan sebagai sebuah puncak kegemilangan Islam.
Oleh sebab, kita mungkin penting membaca Fouda, membaca “Kebenaran yang Hilang; Sisi Kelam Praktek Politik dan Kekuasaan dalam Sejarah Kaum Muslim” demi melihat sejarah lebih obyektif, agar kita tak terjebak pada ‘pemberhalaan sejarah’ dalam ungkapan Buya Syafii Maarif.
Ana Belen Soage menulis dalam Middle East Review of International Affairs, bahwa beberapa hari sebelum dibunuh, tanggal 3 Juni, sekelompok ulama dari Universitas al-Azhar mengeluarkan pernyataan bahwa Fouda, berdasarkan pikiran dan tulisannya, telah menghujat agama dan karenanya keluar dari Islam. Ini berarti, ia adalah musuh Islam dan halal darahnya. Di sini, labelisasi halal berarti boleh dibunuh. Sebelumnya, kelompok ulama yang sama menerbitkan daftar nama-nama orang yang memusuhi Islam dan Fouda berada di urutan pertama. Para pembunuhnya bertolak dari dua dokumen ini.
Apa yang dianggap penghujatan terhadap agama islam sebenarnya terkait dengan tulisan-tulisan Fouda yang terangkum dalam buku ‘Kebenaran yang Hilang ; Sisi Kelam Praktik Politik dan Kekuasaan dalam Sejarah kaum Muslim. Buku ini adalah edisi revisi yang pernah diterbitkan Balai Litbang Agama Jakarta pada tahun 2007. Buku ini mengkritik pandangan dan tafsir oleh beberapa kaum islamis tentang sejarah Islam pada masa sahabat yang dianggap paling gemilang yang pernah dicapai umat islam, sehingga dengan demikian menjadi tolak ukur pendirian negara atau pemerintahan yang islami.
Pandangan beberapa kalangan yang menganggap pentingnya negara Islam atau Islam adalah solusi adalah sebuah pandangan yang sangat akrab dengan slogan Ikhwanul Muslimin. Mereka menganggap Islam sebagai agama dan negara. Penerapan syariat islam secara serta merta akan memperbaikan keadaan dan segala persoalan yang ada. Tetapi bagi Fouda, ada banyak persoalan yang belum bisa dijawab. Misalnya, adanya kontroversi meluas yang muncul karena adanya respon dari gerakan emansipasi perempuan dan dilain pihak, muncul pula gerakan pendukung hak asasi laki-laki. Keduanya adalah kenyataan-kenyataan sosial baru dalam masyarakat yang tidak ada preseden sebelumnya, baik dalam masa Imam Malik, Abu Hanifah, al-Syafii maupun Ibnu Hanbal (hal.12)
Tidak adanya ketentuan yang jelas dalam sistem pemerintahan pada masa Khulafa’ al Rasyidun makin meruntuhkan argumen para penganut islamis yang hendak menegakkan khilafa atau negara Islam. Ketidakjelasan ini secara jelas muncul pada masing-masing awal periode kepemimpinan sahabat. Tidak adanya hadis nabi yang digunakan pada saat perkumpulan di Tsaqifah Bani Saidah di kota Madinah. Sebuah polemik antara Saad bin Ubadah yang hendak diangkat kaum Anshar menggantikan nabi dengan Abu Bakar yang dicalonkan oleh Umar dan Abu Ubaidah Al-Jarrah. Setelah melalui polemik panjang, akhirnya Abu Bakar terpilih menggantikan nabi. Di sini tidak ada penggunaan hadist nabi (kalaupun benar ada) dalam pencalonan.
Oleh sebab itu, dalam tata cara pemilihan, Al Qur’an sendiri tidak meninggalkan ketentuan spesifik tentang perkara ini. Nabi pun tidak mewasiatkan apa-apa kepada kita. Jika tidak demikian, tidak mungkin akan terjadi perdebatan sengit dan pertentangan keras di dalam pertemuan Tsaqifah. Kalau ada ketentuan, pasti Ali bin Abi Thalib tidak akan menolak mengakui Abu Bakar dan segera membaiatnya (hal.77).
Dan yang lebih menarik menurut Fouda adalah Abu Bakar tidak menganggap tata cara di Tsaqifah sebagai tata cara yang paling benar dalam suksesi kepemimpinan Islam, karena itu ia juga mewasiatkan penggantinya kepada Umar dengan surat tertutup yang lebih dikenal dengan Majlis Ahl al-Halli Wa al-‘Aqdi.
Dengan dasar itulah umat Islam membaiat Umar menjelang wafatnya Abu Bakar, tanpa tahu apa isi surat Abu Bakar itu. Tata cara ini juga diralat Umar dikemudian hari, dengan menunjuk satu di antara enam orang pemuka sahabat, yaitu Ali, Utsman, Thalhah, al-Zubair, Ibnu Auf, dan Saad bin Abi Waqash. Cara seperti ini juga berbeda dengan tata cara Muawiyyah yang melakukan pendekatan senjata, serta Yazid yang mewariskan kekuasaannya. (hal. 18).
Sehingga bagi Fouda, yang juga dikutip oleh Samsu Rizal Panggabean dalam pengantar buku ini, zaman para sahabat Nabi dan Khulafa’ al Rasyidun, sebagai zaman keemasan yang dirindukan, Fouda menganggap bahwa itu adalah zaman biasa. Tidak banyak yang gemilang dari masa itu. Malah, masih dalam pengantar buku ini, ada banyak jejak memalukan. Tiga dari empat al-Khulafa’ yang katanya al-Rasyidun wafat karena pembunuhan politik yang terjadi di tengah polarisasi atau perang saudara di kalangan pengikut-pengikut Nabi yang, menurut riwayat, telah dijamin akan masuk surga.
Epilog kedua oleh Goenawan Mohammad menambahkan bahwa mereka tak sekedar membunuh Usman. Menurut sejarawan al-Thabari, jenazahnya terpaksa ‘’bertahan dua malam karena tidak dapat dikuburkan”. Ketika mayat itu disemayamkan, tak ada orang yang bersembahyang untuknya. Siapa saja dilarang menyalatinya. Jasad orangtua berumur 83 itu bahkn diludahi dan salah satu persendiannya dipatahkan. Karena tak dapat dikuburkan di pemakaman Islam, khalifah ke-3 itu dimakamkan di Hisy Kaukab, wilayah pekuburan Yahudi. (hal.197)
Demikian juga pada masa kepemimpinan Ali. Khalifah ke-4 itu harus mati ditangan pengikutnya sendiri yang kecewa terhadapnya ; Ibnu Muljam. Dan dia tertangkap dan dihukum mati. Matanya dicungkil dan lidahnya dipotong serta mayatnya dibakar. Ada sebuah kengerian yang terlampau sadis yang membayangi periode kepemimpinan para sahabat nabi. Periode yag sebagian umat islam dikatakan sebagai sebuah puncak kegemilangan Islam.
Oleh sebab, kita mungkin penting membaca Fouda, membaca “Kebenaran yang Hilang; Sisi Kelam Praktek Politik dan Kekuasaan dalam Sejarah Kaum Muslim” demi melihat sejarah lebih obyektif, agar kita tak terjebak pada ‘pemberhalaan sejarah’ dalam ungkapan Buya Syafii Maarif.
Download 'Kebenaran yang Hilang' (pdf) via
userscloud disini
solidfiles disini
tusfiles disini
zippyshare disini
ourupload disini
Post a Comment
0 Comments