e-Book
Sarinah (Ir. Soekarno)
Pandangan Soekarno tentang perempuan Indonesia diawali dari paparan realitas kehidupan perempuan Indonesia yang masih banyak mengalami pengekangan, penindasan dan pembodohan. Paparan tersebut didasarkan pada pengalaman-pengalaman Soekarno yang dicontohkannya dalam beberapa fenomena mendasar, terutama tentang pengalamannya atas pengekangan-pengekangan yang terjadi terhadap perempuan Indonesia akibat persepsi yang salah terhadap peran isteri dalam kehidupan rumah tangga.
Isteri bagi kaum laki-laki Indonesia lebih banyak dimaknai sebagai obyek yang tidak memiliki kuasa atas segala hal. Isteri hanya diposisikan sebagai sub bagian dari kaum laki-laki yang berposisi sebagai kepala rumah tangga yang bisa menentukan segala hal yang bersangkut-paut dengan masalah-masalah rumah tangga. Akibatnya isteri-isteri Indonesia nyaris tidak memiliki kebebasan sama sekali dalam segala hal termasuk dalam melakukan hubungan-hubungan dan perbuatan-perbuatan hukum atas dirinya sendiri karena harus berada dalam pengampuan sang suami. Semua tindakan dan keputusan yang akan dibuat harus mendapatkan persetujuan terlebih dahulu dari suami. Bahkan untuk menemui seorang tamu pun, sang isteri harus menunggu ijin dari suami terlebih dahulu.
Seperti yang dicontohkan Soekarno ketika ia datang bertamu ke rumah kenalannya, dimana kenalannya itu begitu mudahnya berbohong di depan isterinya yang menyatakan bahwa isterinya tidak ada di rumah sementara isterinya dibiarkan mengintip dari balik tirai pintu. Dari contoh di atas dapat terlihat jelas bahwa peran perempuan Indonesia memang masih sangat jauh dari kemerdekaannya akibat pengekangan-pengekangan yang dilakukan oleh suaminya sendiri.
Alasan mendasar yang dapat ditangkap oleh Soekarno atas pengekangan yang dilakukan tersebut adalah akibat bentuk pengungkapan rasa sayang yang salah terhadap isterinya. Persepsi suami Indonesia, isteri adalah mutiara berharga yang harus dijaga, dihormati dan dimuliakan oleh suaminya. Namun cara menjaga dan menghormati tersebut diungkapan dengan cara memingit isteri di dalam rumah sehingga berakibat hilangnya kebebasan perempuan Indonesia. Fenomena ini persis seperti apa yang pernah dikemukakan Professor Havelock Ellis yang dikutip Soekarno: “kebanyakan laki-laki memandang perempuan sebagai suatu blasteran antara seorang Dewi dan seorang tolol!”
Walaupun demikian, kebebasan yang harus diperjuangkan oleh perempuan Indonesia juga tidak dapat serta merta memplagiat seperti kaum feminis dan neo feminis eropa yang menuntut kesamaan atas segala hal terhadap kaum laki-laki, baik persamaan dalam tingkah laku, cara hidup, bentuk pakaian dan lain-lain. Padahal kita mengetahui ada beberapa perbedaan mendasar yang tidak dapat disamakan antara laki-laki dan perempuan terutama yang menyangkut kodrat perempuan itu sendiri. Mengutip pernyataan Henriette Roland Holst, Soekarno menyatakan bahwa perempuan yang bebas merdeka dan bekerja seperti laki-laki tidak bisa dihindarkan pasti akan merindukan kodratnya sebagai isteri dari suami dan ibu dari anak-anaknya.
Oleh karena itu, masalah perjuangan kebebasan dan makna kesetaraan antara laki-laki dan perempuan sampai saat ini masih memiliki masalah yang sangat pelik. Bahkan perjuangan kaum perempuan pun sampai saat ini mengalami banyak perbedaan-perbedaan, dari ortodoks, moderat dan modern. Dan Sukarno tidak menginginkan perjuangan kaum-kaum perempuan Indonesia membabi buta memplagiat seperti feminis di eropa tanpa menyatukannnya dengan kepribadian bangsa. Sebab jika itu terjadi, yang timbul hanyalah kerusakan dan kekacauan belaka.
Isteri bagi kaum laki-laki Indonesia lebih banyak dimaknai sebagai obyek yang tidak memiliki kuasa atas segala hal. Isteri hanya diposisikan sebagai sub bagian dari kaum laki-laki yang berposisi sebagai kepala rumah tangga yang bisa menentukan segala hal yang bersangkut-paut dengan masalah-masalah rumah tangga. Akibatnya isteri-isteri Indonesia nyaris tidak memiliki kebebasan sama sekali dalam segala hal termasuk dalam melakukan hubungan-hubungan dan perbuatan-perbuatan hukum atas dirinya sendiri karena harus berada dalam pengampuan sang suami. Semua tindakan dan keputusan yang akan dibuat harus mendapatkan persetujuan terlebih dahulu dari suami. Bahkan untuk menemui seorang tamu pun, sang isteri harus menunggu ijin dari suami terlebih dahulu.
Seperti yang dicontohkan Soekarno ketika ia datang bertamu ke rumah kenalannya, dimana kenalannya itu begitu mudahnya berbohong di depan isterinya yang menyatakan bahwa isterinya tidak ada di rumah sementara isterinya dibiarkan mengintip dari balik tirai pintu. Dari contoh di atas dapat terlihat jelas bahwa peran perempuan Indonesia memang masih sangat jauh dari kemerdekaannya akibat pengekangan-pengekangan yang dilakukan oleh suaminya sendiri.
Alasan mendasar yang dapat ditangkap oleh Soekarno atas pengekangan yang dilakukan tersebut adalah akibat bentuk pengungkapan rasa sayang yang salah terhadap isterinya. Persepsi suami Indonesia, isteri adalah mutiara berharga yang harus dijaga, dihormati dan dimuliakan oleh suaminya. Namun cara menjaga dan menghormati tersebut diungkapan dengan cara memingit isteri di dalam rumah sehingga berakibat hilangnya kebebasan perempuan Indonesia. Fenomena ini persis seperti apa yang pernah dikemukakan Professor Havelock Ellis yang dikutip Soekarno: “kebanyakan laki-laki memandang perempuan sebagai suatu blasteran antara seorang Dewi dan seorang tolol!”
Walaupun demikian, kebebasan yang harus diperjuangkan oleh perempuan Indonesia juga tidak dapat serta merta memplagiat seperti kaum feminis dan neo feminis eropa yang menuntut kesamaan atas segala hal terhadap kaum laki-laki, baik persamaan dalam tingkah laku, cara hidup, bentuk pakaian dan lain-lain. Padahal kita mengetahui ada beberapa perbedaan mendasar yang tidak dapat disamakan antara laki-laki dan perempuan terutama yang menyangkut kodrat perempuan itu sendiri. Mengutip pernyataan Henriette Roland Holst, Soekarno menyatakan bahwa perempuan yang bebas merdeka dan bekerja seperti laki-laki tidak bisa dihindarkan pasti akan merindukan kodratnya sebagai isteri dari suami dan ibu dari anak-anaknya.
Oleh karena itu, masalah perjuangan kebebasan dan makna kesetaraan antara laki-laki dan perempuan sampai saat ini masih memiliki masalah yang sangat pelik. Bahkan perjuangan kaum perempuan pun sampai saat ini mengalami banyak perbedaan-perbedaan, dari ortodoks, moderat dan modern. Dan Sukarno tidak menginginkan perjuangan kaum-kaum perempuan Indonesia membabi buta memplagiat seperti feminis di eropa tanpa menyatukannnya dengan kepribadian bangsa. Sebab jika itu terjadi, yang timbul hanyalah kerusakan dan kekacauan belaka.
Download Sarinah (pdf) via
userscloud disini
solidfiles disini
tusfiles disini
zippyshare disini
ourupload disini
Post a Comment
0 Comments