Film
The Theory of Everything (Stephen Hawking)
The Theory of Everything, sebuah biopik mengenai kehidupan astrofisikawan brilian Stephen Hawking. The Theory of Everything lebih membahas tentang kehidupan Hawking selama hampir seperempat abad berjuang melawan penyakitnya sambil terus mencari satu persamaan sederhana yang menjelaskan semesta, "Theory of Everything". Dia bertahan, dan sukses di bidangnya meski harus berbicara lewat program komputer.
Diangkat dari memoar istri pertamanya, Jane Hawking yang berjudul Travelling to Infinity: My Life with Stephen, film ini bernarasi tentang kehidupan cinta dan lika-liku rumah tangga Jane dan Stephen. 20 menit di awal, kita akan dibawa ke masa-masa mereka kuliah. Stephen (Eddie Redmayne) yang jenius dan lucu, bertemu dengan gadis cantik Jane (Felicity Jones). Meski punya banyak perbedaan — Stephen yang atheis, Jane yang agamis. Bidang ilmu Stephen tentang fisika, dan Jane sastra Spanyol— Redmayne dan Jones memperlihatkan penonton kisah cinta yang manis, dan mungkin saja berakhir dengan "happy ever after".
Dengan beberapa petunjuk di awal film —seperti Stephen yang tiba-tiba menjatuhkan gelas saat minum teh atau cara berjalannya yang kadang-kadang aneh, kemudian cerita akan bergerak ke arah yang sudah kita tahu, penyakit Stephen. Dimulai saat dia tiba-tiba terjatuh saat di kampus, Stephen mengalami kesulitan menggerakkan kakinya, dan secara mengejutkan dia divonis terkena penyakit ALS (Amyothrophic Lateral Disease) —semacam penyakit sensor neuron— dan hanya punya waktu hidup 2 tahun lagi. Tak ingin menjadi beban, dia mulai menjauhi Jane. Namun Jane bersikeras akan terus bersama Stephen apapun yang terjadi dan bagaimanapun resikonya.
Yang paling menjadi sorotan dari film ini tentu saja adalah karakter Hawking yang diperankan oleh Redmayne. Memikul tanggung jawab besar, Redmayne tampil maksimal. Dengan mempelajari video wawancara Stephen Hawking selama berbulan-bulan lalu menurunkan berat badan hingga 7 kg lebih, Redmayne begitu serius memerankan fisikawan jenius ini dengan segala kecacatan fisiknya sampai-sampai dokter mengklaim bahwa tulang belakang Redmayne mengalami pergeseran. Redmayne menggambarkan tak hanya degradasi fisik Stephen, namun juga ketajaman otak dan kerapuhan emosinya dengan mengagumkan. Saya menjadi sangat peduli pada Stephen sampai-sampai saat Jonathan masuk ke dalam kehidupan mereka, saya pun menjadi tak senang.
Dengan gigi kelincinya, Jones sukses memerankan Jane, seorang wanita yang sangat mengerti Stephen, dan tangguh dalam menghadapi cobaan. Harus merawat 3 anak, lalu suaminya yang cacat, namun tetap mengejar cita-citanya meraih PhD, jalan mudah bagi Jane untuk lari dari masalah. Namun dengan dedikasinya, kata-kata cinta yang klise "The Power of Love" terdengar sangat realistis.
Sutradara pemenang Oscar (dengan film dokumenternya Man on Wire), James Marsh berusaha keras agar setiap scene-nya terkesan otentik dengan kehidupan nyata Hawking. Dengan beberapa sorotan film ala footage, Marsh memberikan sentuhan dokumenter, bidang film yang menjadi keahliannya. Dibantu dengan skrip dari McCarten, kita disuguhkan cerita cinta pasangan Hawking, cukup untuk membuat kita berempati dengan konflik yang datang sesudahnya. Seolah-olah setuju dengan presisi cerita, Stephen Hawking meminjamkan suaranya langsung untuk bagian ending film dan bahkan menitikkan air mata pada screening film di Toronto Film Festival.
The Theory of Everything jelas menyasar pasar masyarakat awam. Tema cerita, romansa cinta, sinematografi yang menawan dari BenoƮt Delhomme dan score yang manis dari Johann Johannson sudah pasti akan menyenangkan banyak orang. Dengan hanya sedikit menyenggol teori-teori rumit astrofisika (termasuk buku terkenalnya Stephen Hawking, A Brief History of Time), film ini fokus terhadap drama pasangan Hawking dan penyakit yang dialaminya. Meski begitu, film ini tak membuat kesalahan film biopik tradisional yang terlalu mengumbar penyakit dan penderitaan tokoh dibandingkan perkembangan karakternya.
Tentu saja, film ini bisa saja menjelajahi sisi kehidupan Hawking lain dengan sisi emosional yang lebih kompleks. Hanya saja, hal ini bakalan sulit dilakukan dan mungkin terlalu berat jika ditonton. Film ini punya cukup latar belakang ilmiah dan chemistry para tokoh, sehingga menjadi film tak membosankan meski berdurasi 2 jam lebih. Meski ceritanya konvensional, namun dengan akting yang brilian, serta score dan sinematografi yang menawan, film ini menjadi lebih dari sekedar biopik biasa.
Diangkat dari memoar istri pertamanya, Jane Hawking yang berjudul Travelling to Infinity: My Life with Stephen, film ini bernarasi tentang kehidupan cinta dan lika-liku rumah tangga Jane dan Stephen. 20 menit di awal, kita akan dibawa ke masa-masa mereka kuliah. Stephen (Eddie Redmayne) yang jenius dan lucu, bertemu dengan gadis cantik Jane (Felicity Jones). Meski punya banyak perbedaan — Stephen yang atheis, Jane yang agamis. Bidang ilmu Stephen tentang fisika, dan Jane sastra Spanyol— Redmayne dan Jones memperlihatkan penonton kisah cinta yang manis, dan mungkin saja berakhir dengan "happy ever after".
Dengan beberapa petunjuk di awal film —seperti Stephen yang tiba-tiba menjatuhkan gelas saat minum teh atau cara berjalannya yang kadang-kadang aneh, kemudian cerita akan bergerak ke arah yang sudah kita tahu, penyakit Stephen. Dimulai saat dia tiba-tiba terjatuh saat di kampus, Stephen mengalami kesulitan menggerakkan kakinya, dan secara mengejutkan dia divonis terkena penyakit ALS (Amyothrophic Lateral Disease) —semacam penyakit sensor neuron— dan hanya punya waktu hidup 2 tahun lagi. Tak ingin menjadi beban, dia mulai menjauhi Jane. Namun Jane bersikeras akan terus bersama Stephen apapun yang terjadi dan bagaimanapun resikonya.
Yang paling menjadi sorotan dari film ini tentu saja adalah karakter Hawking yang diperankan oleh Redmayne. Memikul tanggung jawab besar, Redmayne tampil maksimal. Dengan mempelajari video wawancara Stephen Hawking selama berbulan-bulan lalu menurunkan berat badan hingga 7 kg lebih, Redmayne begitu serius memerankan fisikawan jenius ini dengan segala kecacatan fisiknya sampai-sampai dokter mengklaim bahwa tulang belakang Redmayne mengalami pergeseran. Redmayne menggambarkan tak hanya degradasi fisik Stephen, namun juga ketajaman otak dan kerapuhan emosinya dengan mengagumkan. Saya menjadi sangat peduli pada Stephen sampai-sampai saat Jonathan masuk ke dalam kehidupan mereka, saya pun menjadi tak senang.
Dengan gigi kelincinya, Jones sukses memerankan Jane, seorang wanita yang sangat mengerti Stephen, dan tangguh dalam menghadapi cobaan. Harus merawat 3 anak, lalu suaminya yang cacat, namun tetap mengejar cita-citanya meraih PhD, jalan mudah bagi Jane untuk lari dari masalah. Namun dengan dedikasinya, kata-kata cinta yang klise "The Power of Love" terdengar sangat realistis.
Sutradara pemenang Oscar (dengan film dokumenternya Man on Wire), James Marsh berusaha keras agar setiap scene-nya terkesan otentik dengan kehidupan nyata Hawking. Dengan beberapa sorotan film ala footage, Marsh memberikan sentuhan dokumenter, bidang film yang menjadi keahliannya. Dibantu dengan skrip dari McCarten, kita disuguhkan cerita cinta pasangan Hawking, cukup untuk membuat kita berempati dengan konflik yang datang sesudahnya. Seolah-olah setuju dengan presisi cerita, Stephen Hawking meminjamkan suaranya langsung untuk bagian ending film dan bahkan menitikkan air mata pada screening film di Toronto Film Festival.
The Theory of Everything jelas menyasar pasar masyarakat awam. Tema cerita, romansa cinta, sinematografi yang menawan dari BenoƮt Delhomme dan score yang manis dari Johann Johannson sudah pasti akan menyenangkan banyak orang. Dengan hanya sedikit menyenggol teori-teori rumit astrofisika (termasuk buku terkenalnya Stephen Hawking, A Brief History of Time), film ini fokus terhadap drama pasangan Hawking dan penyakit yang dialaminya. Meski begitu, film ini tak membuat kesalahan film biopik tradisional yang terlalu mengumbar penyakit dan penderitaan tokoh dibandingkan perkembangan karakternya.
Tentu saja, film ini bisa saja menjelajahi sisi kehidupan Hawking lain dengan sisi emosional yang lebih kompleks. Hanya saja, hal ini bakalan sulit dilakukan dan mungkin terlalu berat jika ditonton. Film ini punya cukup latar belakang ilmiah dan chemistry para tokoh, sehingga menjadi film tak membosankan meski berdurasi 2 jam lebih. Meski ceritanya konvensional, namun dengan akting yang brilian, serta score dan sinematografi yang menawan, film ini menjadi lebih dari sekedar biopik biasa.
Download film The Theory of Everything via
usercloud disini
tusfiles disini
Post a Comment
0 Comments